Konsumsi antibiotik yang berlebihan di Indonesia terus menimbulkan masalah kesehatan yang signifikan di masyarakat, khususnya potensi peningkatan resistensi antimikroba (AMR).[1]
Secara regulasi, penjualan antibiotik diatur secara ketat oleh hukum di Indonesia. Penjualan hanya diizinkan dengan resep dari dokter yang berwenang. Selain itu, penjualan obat-obatan ini dibatasi hanya di apotek-apotek berlisensi yang dikelola oleh apoteker yang berkualifikasi.[2] Namun demikian, peraturan ini sering kali tidak diindahkan dalam praktiknya dan banyak pelanggaran yang terjadi, terutama di daerah pedesaan atau di apotek-apotek kecil.[3]
Dampak dari AMR di Indonesia sangat luas dan mempengaruhi stabilitasi sistem perawatan kesehatan dan ekonomi negara.
Resistensi antibiotik telah menyebabkan peningkatan kematian yang mengkhawatirkan. Sebuah penelitian memperkirakan bahwa lebih dari 34.000 kematian di Indonesia pada tahun 2019 secara langsung disebabkan oleh AMR. Pasien dengan infeksi bakteri yang tidak lagi merespons terhadap antibiotik yang umum digunakan sangat berisiko. [4]Resistensi terhadap bakteri seperti Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae sangat besar.[5]
Selain itu, AMR menyebabkan durasi penyakit yang lebih lama dan oleh karena itu juga menyebabkan pasien harus dirawat di rumah sakit lebih lama. Hal ini meningkatkan beban pada sistem perawatan kesehatan dan mengakibatkan biaya perawatan yang lebih tinggi pemanfaatan sumber daya staf yang lebih tinggi.[6]
Meningkatnya resistensi juga berarti bahwa obat-obat menjadi semakin tidak efektif. Dokter harus menggunakan alternatif yang lebih mahal atau yang lebih keras, yang tidak selalu tersedia atau cocok(4).
Jika dibandingkan secara global, Jerman memiliki angka AMR yang relatif rendah, meskipun angka ini juga terus meningkat. Penggunaan antibiotik relatif terkendali dengan baik berkat pemantauan kesehatan yang berfungsi dengan baik dan peraturan yang ketat. Angka kematian akibat infeksi terkait AMR juga lebih rendah daripada di Indonesia.[7]
Memerangi AMR merupakan tantangan bagi Indonesia yang perlu diprioritaskan. Berbagai strategi nasional telah dikembangkan untuk mengurangi penyebarannya, termasuk proyek PINTAR, yang berfokus pada pelatihan apoteker dan peningkatan kesadaran masyarakat.
Untuk meminimalkan beban kesehatan dan ekonomi akibat resistensi antimikroba, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mempromosikan sistem perawatan kesehatan yang berkelanjutan dan memerangi penyalahgunaan antibiotik.
[1] https://www.who.int/about/accountability/results/who-results-report-2020-mtr/country-story/2020/indonisia-amr
[2] https://peraturan.bpk.go.id/Details/38778/uu-no-36-tahun-2009
[3] https://gh.bmj.com/content/6/8/e004993
[4] https://www.healthdata.org/sites/default/files/2023-09/Indonesia.pdf
[5] https://journal.seameotropmednetwork.org/index.php/jtropmed/article/view/738
[6] https://centertropmed-ugm.org/project/pintar-study
[7] https://www.who.int/indonesia/news/detail/28-06-2023-indonesia-lays-groundwork-for-antimicrobial-resistance-resilience-through-one-health-approach