Melihat pertumbuhan ekonomi dan perdagangan negara China, banyak pakar mengatakan sebagai hal yang fenomenal. Angka pertumbuhan China memang lebih cepat daripada yang diperkirakan oleh banyak kalangan. Menurut Majalah FOCUS, pada bulan Desember 2005 pemerintah China mampu mengangkat lagi GIP nya sebesar 285 Milyar Dollar, sehingga ekomoni China menempati peringkat ke 6 sedunia. Bila digabung dengan Hongkong, maka akan mampu menyamai USA, Jepang dan Jerman.
Menurut Hong Liang dari Goldman Sachs, sejak 27 tahun terakhir perekonomian China mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,4%. Sedangkan GIP per kepala mengalami kenaikan sebesar 600%, yang merupakan kejadian pertama kali dalam sejarah dunia. Dengan sistem perekonomian yang export-oriented, China mampu menaikan nilai export dari 267 Milyar Dollar (2001) menjadi 762 Milyar Dollar (2005).
Revolusi Industri Jerman
China dengan penduduk sekitar 1,3 Milyar dan daerah yang sangat luas menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan industri dan perdagangan. China seolah menjadi harapan besar untuk mendongkrak omset perdagangan industri, ibarat gula manis yang mampu menyedot semut-semut untuk mendatanginya. Kalangan Manager Eropa melihatnya dengan mata berbinar-binar, seolah-olah menawarkan peluang pasar yang tiada batasnya.
Tuntutan untuk dekat dengan market, menjadi alasan bagi banyak perusahaan Jerman dan Eropa untuk berbondong-bondong membuka pabrik dan bekerja sama dengan China. Selain itu tekanan biaya produksi yang tinggi di Jerman, memperkuat keinginan mereka untuk memindahkan pusat produksi ke negara lain dengan upah yang lebih rendah.
Ekonomi China yang sangat beorientasi pada ekspor menjadi tantangan berat bagi negara-negara industri. Tekanan persaingan dari China yang naik dengan pesat tidak hanya di sektor tekstil, namun juga telah merambah industri elektronik, telekomunikasi bahkan otomotif dan transport.
Sebagian Manager bahkan mennyatakan “China is very dangerous” dan menuntut pemerintah Jerman agar segera mengambil kebijakan yang tepat untuk menyelamatkan ekonomi dalam negerinya. Namun reformasi politik Jerman dirasakan oleh beberapa kalangan berjalan sangat lambat. Sehingga gelombang penutupan pabrik-pabrik di Jerman selama beberapa tahun terakhir seperti tidak bisa dihindari. Demonstrasi serikat pekerja menentang penutupan pabrik dan PHK seakan menjadi santapan sehari-hari di koran dan televisi Jerman. Setiap pekerja di Jerman merasa tidak yakin lagi akan masa depan pekerjaannya. Menurut hasil penelitian Forsa Institut di Berlin, setiap 5 pekerja merasa Stress karena takut terkena PHK.
Sebagian perusahaan Jerman memindahkan produksinya ke negara eropa timur, sebagian lagi ke negeri China atau India. Tetapi tidak semua perusahaan tersebut memiliki pertimbangan dan analisa yang cukup terhadap risiko di negara lain yang akan dihadapi. Yang sering menjadi pertimbangan utama adalah upah pekerja di Jerman yang relatif sangat tinggi, sehingga produknya yang mahal tidak mampu bersaing dengan produk China. Beberapa kalangan bahkan menganggap, ”Made in Germany” tidak mampu bersaing lagi, Jerman bukan lagi Pusat Teknologi dan Inovasi serta pernyataan senada lainnya.
China: Tambang Emas atau Mimpi Buruk?
Pertumbuhan ekonomi dan perdagangan China ternyata tidak selalu membawa keuntungan bagi semua pihak, seperti yang dibayangkan. Mulai dari perusahaan menengah hingga perusahaan papan atas Jerman, memetik pengalaman yang luar biasa dari hubungan perdagangan dengan China. Pengalaman yang tidak selalu menyenangkan, yang terkadang harus mereka bayar dengan kerugian jutaan Dollar. Permasalahan besar yang sering dihadapi oleh perusahaan Jerman dengan China adalah masalah hak paten atau pemalsuan produk.
Kejadian yang cukup menarik perhatian seluruh rakyat Jerman adalah masalah order pemerintah China kepada Jerman, untuk membangun jalur kereta magnet Transrapid. Transrapid, kereta ’mengambang’ dengan teknologi magnet yang dikembangkan oleh Siemens dan ThyssenKrupp ini memiliki kecepatan rata-rata 500 m/h. Di Jerman sendiri sampai saat ini baru dipakai di jalur uji coba. Sehingga pesanan dari pemerintah China ini dianggap sebagai sebuah keberuntungan oleh pemerintah Jerman.
Namun beberapa saat setelah Transrapid bikinan Jerman diresmikan di China, pemerintah China mengumumkan peluncuran kereta magnet buatan China. Satu hal yang sangat mengejutkan pihak Jerman. Banyak yang berpendapat, Jerman telah melakukan kesalahan besar dan menuduh China telah melakukan pembajakan teknologi. Namun China Aviation Industry Corporation (CAC) sebagai pihak yang memproduksi Dolphin (Transrapid made in China) membantah tuduhan tersebut.
Kejadian Transrapid bukan satu-satunya yang dialami oleh perusahaan Jerman. Dalam pameran mobil internasional IAA di Frankfurt, produsen mobil Jiangling mengundang kekesalan OPEL, karena menjiplak OPEL Frontera nya. Mercedes juga harus menelan pengalaman pahit dengan tindakan Yaxing, yang memproduksi chasis dengan teknologi dan know-how Mercedes. Jenis produk lainnya tidak luput dari bajakan perusahaan China, mulai dari pensil, mainan, pakaian, jam tangan, sepeda motor, mesin industri dan produk-produk kimia. Kerugian yang diderita akibat pembajakan ini berkisar antara 200 Milyar Euro (data Komisi Uni Eropa) dan 500 Milyar Dollar (data pemerintah Amerika).
Perusahaan-perusahaan besar mulai giat melakukan perlawanan terhadap mafia plagiator dari China ini. Dengan biaya yang tidak sedikit mereka menelusuri sumber pemalsuan produk hingga ke China dan menuntutnya di Pengadilan. Namun perusahaan kecil dan menengah tidak akan mampu melawan tindakan para plagiator ini, karena keterbatasan kemampuan.
Di setiap pameran di Jerman juga diadakan aksi razia terhadap produk China, yang diduga melakukan pelanggaran hak paten. Kampanye melawan Plagiator gencar dilakukan. Salah satunya adalah dengan memberi penghargaan kepada Plagiator dengan design terbaik, yang dilakukan oleh Ikatan Industry Designer Jerman (http://www.plagiarius.com). Penghargaan ini pertama kali diberikan kepada perusahaan Lee dari Hongkong, yang secara jitu meniru produk timbangan berat badan merek Soehnle. Setiap tahun Award ini diberikan kepada para pemalsu produk dalam kesempatan pameran di Jerman.
Tindakan tidak fair dari pengusaha-pengusaha China tersebut berhasil menempatkan negara China sebagai Plagiator terbaik di dunia. Selain itu mulai dirasakan oleh kalangan industri dan perdagangan eropa, bahwa banyak langkah-langkah perusahaan dari daratan China yang dianggap tidak fair dan melanggar perjanjian. Seperti tindakan BenQ yang tiba-tiba menutup pabrik mobile phone Siemens di Jerman, setelah sebelumnya mengambilalihnya dari Siemens. Siemens dan pengacara Jerman saat ini sedang berusaha menuntut BenQ ke pengadilan, atas tindakan yang dianggap melanggar perjanjian. Selain itu BenQ juga pernah digugat oleh Thomson, sebuah produsen LCD yang berpusat di Perancis, atas tindakan BenQ melukai hak paten milik Thomson.
Keberhasilan China dalam membangun perekonomian dan perdagangan internasional, ternyata tidak selalu membuat setiap kalangan kagum dan senang serta aman untuk bekerja sama dengannya. Bahkan cenderung ada kesan, keberhasilan diatas penderitaan orang lain. Seorang pengusaha Jerman, kenalan penulis, merasa enggan untuk melakukan kerjasama bisnis lagi dengan partner dari China, setelah beberapa kali mendapat tindakan kurang fair dari mereka.
Namun posisi China saat ini di tataran internasional memang tidak bisa dipungkiri, terlepas dari mentalitas atau kebijakan dalam negeri yang mereka laksanakan. Menurut salah seorang direksi Siemens, Heinrich von Pierer, ”Resiko menghindari perdagangan dengan China lebih besar daripada resiko ketika terlibat dengannya”.
Belajarlah Hingga Ke Negeri China
Pada awal bulan November 2006 berlangsung Pertemuan Puncak ke-3 Bisnis dan Investasi China-ASEAN di Nanning, Guangxi, China. Dalam forum tersebut, PM China Wen Jiabao mengatakan dalam sambutannya, bahwa kemajuan pesat pembangunan ekonomi China akan membuka lebih banyak peluang bagi kerja sama bilateral antara China dan negara-negara anggota ASEAN. Selain itu telah dicapai kesepakatan, bahwa China bertekad mewujudkan kawasan pasar bebas (FTA) dengan Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand paling lambat pada 2010 sedangkan dengan Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam paling lambat tahun 2015.
Tak ketinggalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta rombongan juga hadir dalam pertemuan tersebut. Seperti ungkapan yang cukup terkenal, ”Belajarlah hingga ke negeri China”, maka rombongan tersebut juga punya tekat belajar dari China tentang berbagai hal.
Bukan hanya belajar dari keberhasilan China membangun ekonominya, namun juga belajar dari pengalaman bangsa lain tentang China, khususnya dalam hubungan dagang internasional. Tawaran kerja sama bilateral dari PM China Wen Jiabao di kawasan pasar bebas di ASEAN apakah mampu dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai peluang emas, atau justru menjadi mimpi buruk karena kita tidak siap menghadapi resiko hubungan dagang dengan China. Semoga bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa konsumtif yang kalang kabut menghadapi banjir produk China, tapi juga mampu menghidupkan industri nasional sendiri, sebagai salah satu landasan kemandirian bangsa.
Belajarlah dari dan tentang bangsa China!
Oleh: Sri Nugroho M.Sc. MBA.